Wednesday, 1 February 2017

Potongan Surat dalam Buku "Jejak-Jejak Pencarian Makna"



Semarang, 02-02-20-17


Kepada Yth.
          Adinda  Arinza R. Razikiyah
    di
           Tempat




Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Hai Rin, gimana kabarmu sekarang?, tak terasa 6 tahun sudah kita tidak berkomunikasi lagi ya. Ma'afkan kanda, karena efek kurang dewasa dalam menyikapi masalah harus sembunyi dari kenyataan. Namun dalam keheningan malam, tak pernah lupa kok, selalu namamu tersebut dalam do'a ku, ditengah tak berdaya antara gejolak fikiran dan perasaan yang sudah bertolak belakang.


Tapi,... sudahlah, semoga langkah kita bersama, membuahkan kehidupan yang lebih baik dan do'a dalam tasyahud akhir kita di ijabah oleh Allah SWT, yaitu berupa ampunan dosa yang terdahulu dan yang akan datang, dosa yang ditampakkan dan yang disembunyikan, dan dosa diluar pengetahuan kita yang hanya Allah yang mengetahuinya.


Ma'af... hanya sehelai kertas ini yang bertamu untuk mengetuk hatimu, jasad ini masih belum kuat untuk berjumpa denganmu. izinkahlah aku berbagi cerita padamu, karena aku merindukan masa dimana kanda sering berbagi padamu duhai dinda, dan caramu memperlakukanku laksana siraman hujan di tengah padang pasir.


Inilah aku, -si kikik muda- yang masih belum dipertemukan dan digerakkan hatinya untuk bertemu dan berbai'at (mengikat janji setia) kepada seorang Mursyid (Guru pembimbing ruhani yang telah sampai pada kedudukan (tingkatan) penerus para Nabi, yang diberikan kemampuan oleh Allah untuk mengantarkan ruhani pada pemahaman yang sejati atau lebih dikenal dengan alam hakikat).

-0-

kamu tentu paham terhadap caraku berfikir, yang selalu frontal kepada siapapun yang tenggelam dalam dimensi alam fisik, atau anak muda sekarang menyebutnya basa-basi, omdo, dan sok. Ingin sekali rangkaian kata ini menyinggung sebuah kelompok pemuda yang juga mengambil istilah "Mursyid", tapi Mursyid yang sejatinya dalam untaian kata ini adalah dalam skala jangakauan dan sudut pandang Tasawuf dan Tarekat. Artinya Beliau-beliau itu bersambung sanad keguruannya, jelas seterang-terangnya sampai kepada Rasulullah SAW,. dan inilah bedanya dengan kelompok di kalangan pemuda tersebut, 


yang mana sanad atau silsilah keguruannya kadang juga aku pertanyakan, dimana mereka belajar, pada apa dan siapa mereka belajar, karena urusan agama bukan hanya dinilai karena kesepakatan nilai tradisi yang universal tentang fitrah kebaikan manusia, yang standartnya hanya berputar tentang etis dan tidak, namun tidak bersumber dari bimbingan Al Qur an dan Hadits yang benar cara memahaminya.


Mereka memahami dengan standart jiwa kosong, hanya bermodal penyesuaian dengan pengalaman kehidupannya, untuk menilai suatu kebenaran. Memang sampaikanlah walau satu ayat, tapi harus jelas sanad -dari mana itu, dan ketika mendengarnya harus dipastikan paham, karena Al-Qur an sendiripun mengajari kita untuk berdo'a Tambahkan Ilmu, dan karuniakanlah Kepahaman. Kemampuan paham itu dibatasi oleh kemampuan akal masing-masing individu.


Walaupun tidak bisa di ingkari sisi positifnya dalam menjaga para anggotanya agar tidak melenceng dari syari'at. Tapi, pertanyaan pentingnya adalah, apakah pendorongnya (dalam amar ma'ruf nahi-munkar) itu telah terbukti tergerak dari lubuk hati terdalam, atau hanya karena faktor gag enak ada semacam tentor pengawas dan didukung oleh motivasi lingkungan, bergaulnya sama itu-itu saja


Dalam hemat pandanganku, ini berhenti dalam bahasa lisan dan lingkungan saja. ketika mereka disuruh jujur dalam kesendirian, melepas semua ego dalam dirinya, apakah gerakan itu murni tulus dari hati terdalam, dan karena Allah saja. tentulah, mereka sendiri yang tau. Wallahu a'lam, semoga hidayah dan Taufiq Nya selalu tercurahkan pada kita semua. Karena, aku sangat khawatir tentang problematika hari ini (zaman media online), kita mena'ati Tuhan (Khusyu' sangat di keramaian) dan menjadi teman Iblis sangat sendirian. itu, karena ilmu dan gerakan jiwanya tidak muncul dari hati terdalamnya. Intinya, semacam ada rasa janggal dan kurang setuju dengan ada penggunaan Istilah Mursyid diluar kalangan tarekat, karena Khawatir terjadi bias-makna bagi orang awam, semacam aku.

-0-

Ada satu fase dalam hidupku, semacam ada kenikmatan dalam beribadah belakangan ini, aku bertanya pada diriku sendiri, entah apakah ini hanya sebuah gerakan karena merasa terhimpit, atau hanya karena sedang berada diantara komunitas yang senang beribadah, dan tentunya ini harus dibuktikan dengan 'Uzlah, menyendiri sambil berfikir, apakah itu telah menjadi istiqamah, atau hanya karena faktor terdesak dan terhimpit.


Tapi, kadang ada semacam rasa lucu dalam diri ketika mulai tumbuh rasa bangga pada diri sendiri, lupa dengan semua tabiat buruk dan rekam jejak maksiat yang tersimpan rapi dalam hard-disk padang mahsyar yang mana kamu juga tahu tentang aku yang dahulu. 


Rin.., ternyata aku salah. aku berdo'a seharusnya dengan satu kondisi jiwa yang manusiawi yaitu sifat butuh, sifat ini terjabarkan menjadi 4 bagian, yaitu sifat fakir, merasa hina dina di depan Allah, merasa tidak berdaya dan merasa lemah. kadang aku merasa sangat bahagia karena maksiyat dahulu, sehingga maksiyat itu mengantarkan aku untuk tahu diri, tapi pada waktu bersamaan aku juga takut, karena Allah tidak memerintahkan -melarang- maksiyat.

-0-

Inilah surat pertamaku pasca 6 tahun dingin, semoga kamu masih sudi untuk membalasnya, dan kembali menasehatiku tentang perjalanan panjang yang harus ku tempuh. yang paling penting lagi adalah semoga bisa membangun silaturrahmi melalui media perpaduan coretan hitam di atas putih ini. ku tunggu uraian kata-katamu yang tersusun bersamaan senyum yang tiada henti dari dirimu.

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabaraktuh,

Salam Rindu
dari Kota Atlas,
Kakandamu,


Moh. Arif Raziqy, S.T.,S.Hum.
S.T. (Senang-Tidur),S.Hum (Suka-Humor)

No comments:

Post a Comment