SAINS DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Prof. Mulyadhi Kartanegara
(*dikutip dari laman facebook beliau di Akun FB Prof. Mulyadhi )
(Bagian Pertama)
Pengantar
Apa yang ingin saya sampaikan selanjutnya adalah melihat sains dalam perspektif Islam, sedangkan yang sebelumnya sains dalam perpektif Barat.
A. Pengertian: “Sains” dan “Ilmu”
Kata "sains" adalah adaptasi dari kata Inggris "science."
Tapi kata science sendiri dikatakan berasal dari kata Latin "scire" yang artinya "mengetahui."
Tentu saja kata ini tak dikenal dalam tradisi ilmiah Islam. Tetapi ada kata yang pengertiannya sangat dekat dengan sains yaitu ilmu, diadopsi dari kata Arab "'ilm."
Kata ilmu itu sendiri berasal dari kata "'alima," yang artinya "mengetahui'," dari mana kata "'ilm" itu berasal.
Jadi secara etimologis arti sains dan ilmu adalah sama, yaitu pengetahuan.
Tetapi secara terminilogis,
sains didefinisikan sebagai "any organized Knowledge" (sembarang pengetahuan yang terorganisir). Sains biasanya dibedakan dengan knowledge, di mana sains adalah pengetahuan yang sistematis (tersususn rapi) dan telah teruji,
sementara knowledge adalah pengetahuan yang belum tersusun dan teruji kebenarannya. Seperti sains, ilmu juga bukan sembarang pengetahuan.
Oleh para sarjana, ilmu biasa didefinisikan sebagai "pengetahuan tentang sesuatu sebagimana adanya" (ma'rifatusy-syay' 'ala ma huwa bih).
Tetapi ada perkembangan yang signifikan dari kata sains, di akhir abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh (seperti telah didiskusikan pada bagian pertama) di mana sains kemudian dimaknai sebagai "pengetahuan yang sistematis tentang dunia fisik."
Sementara itu ilmu masih tetap pada pengertiannya semula, sehingga ilmu meliputi bukan hanya pengetahuan tentang objek-objek empiris (seperti sains) tapi juga bidang-bidang non-empiris seprti matematik dan metafisik.
Dan ini berimplikasi pada kata "saintifik" dan "ilmiah." Dua kata ini sering disamakan begitu saja, padahal sesungguhnya tidak.
Kata saintifik diterapkan hanya untuk ilmu-ilmu alam (empiris) sementara, sementara ilmiah bisa diterapkan bukan hanya kepada ilmu-ilmu alam (empiris) dan juga non-empiris.
Selain itu, dalam prakteknya, bidang-bidang non-empiris, yang tentu saja tidak bisa masuk ke dalam kategori sains dan saintifik, sering kita jumpai, dalam tulisan sarjana-sarjana Muslim yang menulis dalam bahasa Inggris, diterjemahkan sebagai sains, sehingga kita mungkin sekali jumpai istilah "mathematical atau metaphysical sciences," padahal jelas bahwa matematik dan metafisik tidak memenuhi kriteria saintifik, tapi tentu masuk kategori ilmiah.
Jadi ketika anda menemukan istilah “mataphyisical sciences,” dalam tulisan sarjana-sarjana Muslim, itu harus dipahami sebagai "al-'ulum al-ilahiyyah" atau ilmu-ilmu metafisik, tapi bukan sains-sains metafisik.
Selain itu di dalam bahasa Indonesia sering digunakan istilah yang agak aneh yaitu "ilmu pengetahuan" untuk merujuk pada kata sains.
(Bagian Kedua)
Karakteristik Sains Islam
1. Sains Yang Terbuka,2. Membaca Alam sebagai Ayat Allah,3. Empiris-plus (Empiris-metafisis).
1. Sains Yang Terbuka
Dibentuk sebagai bagian tak terpisah dari sistem keilmuan holistik, sains Islam, yang dipahami sebagai ilmu-ilmu alam (al-‘ulum al-thabi’iyyah), bersifat terbuka pada wilayah-wilayah ilmiah lain yang bersifat non-empiris.
Dengan mengenal wilayahnya sendiri yang bersifat fisik-empiris, sains Islam membuka hubungan dengan wilayah matematik dan metafisik. Ini tentunya berbeda dengan sains modern yang dengan ketat membatasi dirinya pada wilayah empiris saja dan menyingkirkan wilayah-wilayah lain sebagai tidak saintifik dan karena itu dipandang berada di luar arena saintifik.
Sifat terbuka ini menjadikan sains Islam menerima doktrin-doktrin metafisik sebagai dasar filosofisnya, sehingga terlihat perpaduan dan jalinan mesra antara fisika dan metafisika.
Dengan kata lain sains Islam adalah bagian dari filsafat yang lebih holistik, dan harus dipahami bukan sebagai sains alam, tetapi lebih tepat filsafat alam.
Barangkali berguna untuk memperlihatkan bagan keilmuan Islam secara holistik dan melihat di mana posisi sains (ilmu-ilmu kealaman) di dalamnya. Dalam kitabnya, al-Syifa’, Ibn Sina (w. 1037 M.) membagi filsafat, sebagai induk dari ilmu-ilmu, ke dalam empat bagian besar:
logika,fisika,matematika, danmetafisika.
Logika, dipandang lebih sebagai alat metodologis (karena itu Aristoteles menyebutnya Organon),
fisika (yang dalam konteks ini kita sebut sebagai sains) dibagi ke dalam beberapa cabang:
astrofisika (al-sama’ wal-‘alam),
meteorologi (atsar ‘uluwwi),
fisika dasar (al-kawn wal-fasad),
mineralogi (fi al-ma’adin),
botani (fi al-nabat),
zoologi (fi al-hayawan),
anatomi (al-tasyrih) dan
Psikologi (fi al-nafs).
matematik dibagi kepada:
aritmetik (‘ilm al-hisab),
geometri (al-handasah),
astronomi (‘il al-hay’ah), dan
musik (al-musiqa),
metafisik dibagi kepada dua divisi utama, tentang prinsip (al-mabda’) dan Eskatologi (al-ma’ad).-
(Bagian Ketiga)
Dengan demikian kita menyadari bahwa yang kita sebut sains (dalam tradisi ilmiah Islam) hanyalah satu bagian dari keseluruhan sistem keilmuan Islam, di mana satu bagian dengan bagian yang lainnya bisa saling berinteraksi.
Misalnya saja kajian tentang jiwa manusia. Selama jiwa itu berada dalam tubuh manusia, maka dikaji di, atau termasuk kajian, fisika, tetapi sekali ia terpisah dengan tubuhnya, jiwa dibahas dalam salah satu cabang ilmu metafisika, yang disebut eskatologi.
Demikan juga, ketika Ikhwan al-Shafa berbicara tentang alam sebagai Manusia Agung (al-insan al-kabir), maka dipercaya bahwa alam fisik, yang masuk ke dalam objek sains, memiliki jiwa, yang disebut jiwa universal (al-nafs al-kulliyyah), sedangkan alam fisik adalah tubuhnya. Dan mereka yakin bahwa, sebagaimana tubuh manusia tidak mampu bergerak kalau tidak digerakkan oleh jiwa, demikian juga tidak akan ada gerak dalam alam semesta, kalau tidak digerakkan oleh jiwa universal ini.
Jalinan yang timbal balik (mutual relationship) inilah yang menjadi salah satu ciri khas (karakter) sains Islam, yang tentunya akan sangat berbeda dengan sains modern yang telah menutup diri pada setiap hubungan dengan dunia non-empiris (ghaib).
(Bagian Keempat)
2. Membaca Alam sebagai Ayat Allah
Karakteristik sains Islam yang kedua adalah pembacaannya terhadap alam sebagai ayat Allah yakni ayat kawniyyah, di samping al-Qur’an, sebagai ayat qawliyyah.
Sayyed Hossen Nasr, dalam bukunya The Islamic Science: an Illustrated Study, menyatakan bahwa “tidak ada seorang ilmuwan Muslim yang mengkaji alam hanya sekedar untuk memuaskan rasa ingin tahu saja, tetapi mereka mengkaji alam sebagai upaya mencari jejak-jeka ilahi (Vestigia Dei).”
Demikian juga, al-Jahiz, pengarang buku zoologis, Kitab al-Hayawan, menyatakan dalam pendahuluannya bahwa ‘zoologi (ilmu hewan) baginya adalah cabang ilmu agama, karena tidak ada maksud lain yang lebih mulia dari pengarangnya (dalam hal ini diri al-Jahiz sendiri), daripada menunjukkan kebesaran Allah yang terdapat pada hewan-hewan tersebut.’
Hal serupa dinyatakan oleh Ikhwan al-Shafa’, kelompok pemikir Muslim abad kesepuluh, yang dalam kitab zoologinya menyatakan, bahwa ‘hewan tertentu (cacing bawah tanah, misalnya) tidak memiliki mata atas dasar kearifan Tuhan. Tuhan tidak akan menciptakan sesuatu dengan sia-sia. Maka Ia pun tidak menciptakan mata bagi hewan seperti itu, karena kalau diciptakan juga, mata tersebut bukan hanya tidak berguna (tidak dimanfaatkan), tetapi malah akan memberi mudarat bagi hewan tersebut (misalnya kelilipan).
Demikian juga ketika Allah tidak memberi rasa sakit pada tumbuhan, karena sengatan matahari, maka rasa sakit pada hewan dan manusia adalah karunia dari Allah. Karena seandainya kita tidak punya rasa sakit, maka ketika lilin --menggunakan contoh yang diberikan Ikhan al-Shafa’ sendiri-- membakar kaki kita yang terjuntai dari tempat tidur, ia tidak akan menyebabkan kita menarik kaki kita dari sang lilin. Tentu saja akibatnya kaki kita bisa hangus terbakar tanpa kita merasakannya.
Dan banyak tentunya contoh-contoh di mana ilmuwan Muslim memperlihatkan,dalam penjelasan ilmiah mereka, tanda-tanda kebesaran Allah yang ada pada objek-objek fisik yang mereka teliti.
(Bagian Kelima)
Allah swt. sendiri dalam beberapa ayat al-Qur’an dengan tegas menyatakan bahwa “pada penciptaan langit dan bumi dan bergantinya siang dan malam terdapat tanda-tanda kebesaran Allah, bagi mereka yang berakal.”
Juga dikatakan “akan Kami perlihatkan tanda-tanda Kami di seantero jagat (afak) dan di dalam diri mereka sendiri, sehingga mereka tahu bahwa al-Qur’an benar-benar dari Allah.”
Ayat-ayat semacam ini tentunya menyadarkan kita bahwa alam semesta bukanlah realitas independen yang tidak punya kaitan apapun dengan Realitas yang lebih tinggi, sebagai mana diklaim oleh saintis-saintis sekuler, melainkan sebagai tanda-tanda kekuasaan-Nya.
Dengan ini diharapkan bahwa pengkajian ilmuwan terhadap alam yang menjadi objek penelitiannya, tidak akan berhenti pada tanda-tanda saja, tetapi terus menelusurinya sehingga menemukan apa yang ditandai, yaitu Tuhan.
Karakter ini tentu saja bertentangan dengan karakter sains modern yang justru mengharamkan dibawanya Tuhan dalam penjelasan saintifik.
Dengan karakter seperti inilah menurut saya sains Islam dapat mengenal Allah, sang Pencipta, dan memperkuat keimanan kita kepada pencipta alam, bukan sebaliknya, seperti yang terjadi pada para saintis Barat, yang justru meninggalkan Tuhan mereka.
(Bagian Keenam)
3. Empiris-plus
Satu lagi karakteristik (ciri khas) sains Islam yaitu sifatnya yang empiris-metafisis (atau dalam istilah saya empiris plus--terinspirasi oleh istilah ONH Plus).
Karakteristik ini bisa dilihat dengan jelas dari tiga aspek:
objeknya,sumber ilmunya, danmetodenya.
Marilah kita mulai dengan yang pertama:
objek sains.
Seperti dalam sains modern, semua objek fisik-empiris adalah menjadi objek yang sah bagi sains (ilmu-ilmu alam) Islam. Objek itu merentang luas dari langit (al-sama') dan bumi (al-ardh) dan apa yang ada di antara keduanya (wa ma bayna huma).
Objek-objek langit, yang masuk ke dalam kajian astrofisik ini dimulai dengan
langit pertama (firmamen) yang meliputi semua orbit yang ada di bawahnya, sehingga disebut orbit yang meliputi (al-falak al-muhith),
di susul dengan bintang-bintang tetap (al-kawakib al-tsabitah),
rasi bintang (al-buruj),
beserta wajah dan rumahnya (wujuh wa buyutuha),
planet-planet atau bintang-bintang beredar (al-kawakib al-sayyarah), seperti Saturnus, , Jupiter, Mars, Venus, Merrkuri dll., termasuk Matahari, dan terakhir adalah bulan, sebagai objek langit paling dekat dengan bumi.
Tapi berbeda dengan sains modern yang membatasi dirinya hanya pada bidang-bidang empiris,
sains Islam memandang bahwa di balik dunia fisik empiris ini masih ada dunia non-empiris, semisal kerajaan langit (malakut al-samawat) dan dunia ruhani (alam arwah) atau yang biasa kita sebut surga.
Selain itu benda-benda langit, yang dipandang oleh sains modern hanya sebagai benda fisik, dipercaya dalam sains Islam memiliki daya-daya spiritual, yang bisa disebut malaikat, akal (intelek) maupun jiwa.
Setiap benda partaikular yang ada di langit ini dikatakan, misalnya oleh Ikhwan al-Shafa' memiliki jiwa, yang disebut jiwa partikular (al-nafs al-juz'iyyah), yang memancar dari jiwa alam semesta, atau jiwa universal (al-nafs al-kulliyyah), yang pada gililirannya juga memancar dari akal universal (al-'aql al-kulli), yang ia sendiri merupakan pancaran langsung dari sang Pencipta alam semesta, Allah.
Inilah salah satu ciri khas dari sains Islam yanag membedakannya dengan sains modern.
(Bersambung).... menunggu wall fb Prof. Mulyadi lagi, heheheh
No comments:
Post a Comment